Pengertian Pendidikan Nilai - Ini adalah tugas mata kuliah KSPI Toko Blog semoga bab Pendidikan Nilai ini bisa membantu sahabat juga yang sedangmencari referensi mata kuliyah.
Dari Non Vitae sed Scholae Discimus Menuju Non Scholae sed Vitae Discimus
Krisnamurti
Bab I. Pendahuluan
Pendidikan sejak dahulu kala memang cocok bila disebut “kegelisahan sepanjang zaman.” Masing-masing zaman mempunyai problem pendidikan yang berlainan. Bahkan, dalam dunia yang serba modern ini, masih ada epidemi yang meracuni dunia pendidikan, termasuk di Indonesia. Realitas pendidikan yang selama ini ada di Indonesia menjadi indikasi yang kuat. Kali ini, problemanya, pendidikan telah jatuh pada pragmatisme. Pendidikan tidak lagi berpegang pada filosofi dasarnya lagi, melainkan, semata-mata, menjadi sarana penghasil “alat” yang berguna bagi masyarakat. Tujuan pendidikan yang esensial dan mulia dikalahkan oleh berbagai macam lembaga atau isme yang hendak memenangkan kepentingannya. Pendidikan hanya mengabdi kepada kepentingan negara, sebagai wadah sebuah masyarakat.
Karya tulis ini disusun berdasarkan tema: “Mengembalikan paradigma filosofi pendidikan Indonesia agar tidak terjebak dalam pragmatisme pendidikan.” Jadi, karya tulis ini hendak menanggapi keprihatinan yang ada dalam realitas dunia pendidikan di Indonesia, yaitu bahwa pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Selanjutnya, karya tulis ini bertujuan menjelaskan mengapa pendidikan Indonesia jatuh dalam pragmatisme dan memberikan solusi supaya dunia pendidikan Indonesia dapat tetap berpegang pada filosofi pendidikan, bukannya jatuh terus dalam pragmatisme. Karya tulis ini hendak merangsang para policymakers pendidikan Indonesia untuk membangun suatu bentuk sistem pendidikan yang bermutu. Karya tulis ini disusun dengan metode studi kepustakaan serta observasi empiris, walau secara tidak langsung. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dan disintesa demi menjawab permasalahan pendidikan Indonesia ini.
Karya Tulis ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama menjadi pendahuluan yang memaparkan latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan karya tulis ini. Selanjutnya, bab dua melukiskan penyebab dunia pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Bab tiga akan memberikan solusi serta metode agar dunia pendidikan Indonesia tidak jatuh terus dalam pragmatisme. Bagian terakhir akan menjadi penutup dari seluruh perjalanan ide karya tulis ini.
Karya tulis ini disusun berdasarkan tema: “Mengembalikan paradigma filosofi pendidikan Indonesia agar tidak terjebak dalam pragmatisme pendidikan.” Jadi, karya tulis ini hendak menanggapi keprihatinan yang ada dalam realitas dunia pendidikan di Indonesia, yaitu bahwa pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Selanjutnya, karya tulis ini bertujuan menjelaskan mengapa pendidikan Indonesia jatuh dalam pragmatisme dan memberikan solusi supaya dunia pendidikan Indonesia dapat tetap berpegang pada filosofi pendidikan, bukannya jatuh terus dalam pragmatisme. Karya tulis ini hendak merangsang para policymakers pendidikan Indonesia untuk membangun suatu bentuk sistem pendidikan yang bermutu. Karya tulis ini disusun dengan metode studi kepustakaan serta observasi empiris, walau secara tidak langsung. Selanjutnya, data-data tersebut dianalisa dan disintesa demi menjawab permasalahan pendidikan Indonesia ini.
Karya Tulis ini dibagi menjadi empat bagian. Bagian pertama menjadi pendahuluan yang memaparkan latar belakang, tujuan, metode, dan sistematika penulisan karya tulis ini. Selanjutnya, bab dua melukiskan penyebab dunia pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Bab tiga akan memberikan solusi serta metode agar dunia pendidikan Indonesia tidak jatuh terus dalam pragmatisme. Bagian terakhir akan menjadi penutup dari seluruh perjalanan ide karya tulis ini.
Bab II. Pendidikan Indonesia: Non Vitae sed Scholae Discimus
Pertanyaan mendasar yang ada, mengapa pendidikan Indonesia mulai jatuh dalam pragmatisme. Untuk menjawabnya, diperlukan refleksi atas realitas sejarah dunia pendidikan Indonesia. Dalam hal ini, orde baru mempunyai peranan yang signifikan karena selama 32 tahun, sejak kejatuhan orde lama, orde baru menguasai seluruh aspek hidup bangsa Indonesia, termasuk dunia pendidikan.
Sebenarnya, hanya terdapat satu sebab utama yang melatarbelakangi hal itu. Semuanya bermula dari tujuan pembangunan yang menjadi ambisi orde baru, yaitu keberhasilan sektor ekonomi. Dunia ekonomi dianggap sebagai faktor yang urgen dan menempati posisi poros dalam memajukan negara. Karena itu, pendidikan dijadikan pabrik produksi manusia-manusia yang nantinya dapat memenuhi kebutuhan ekonomi negara semata-mata. Artinya, pendidikan harus bisa memenuhi permintaan tenaga kerja dari sektor industri sebagai sektor ekonomi yang diutamakan pada zaman globalisasi ini.
Hitam di atas putih, perjalanan sasaran yang terungkap dalam lima Pelita dalam PJPT I menunjukkan runtutan sasaran yang sistematis; dimulai dengan sektor agraris dan secara bertahap sampai dengan sektor industri. Sayangnya, dalam prakteknya, sektor agraris seakan-akan ditinggalkan begitu saja, dan diganti sepenuhnya dengan industrialisasi. Tampak pemerintah begitu berambisi mengikuti pola Barat, yaitu industrialisasi. Selanjutnya, melalui indoktrinasi, pemerintah orde baru telah membuat dunia pendidikan Indonesia lepas dari filosofi dasar pendidikan. Dunia pendidikan Indonesia dijadikan abdi industrialisasi. Dunia pendidikan Indonesia dipaksa harus bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja sektor industri semata-mata. Praktik pendidikan lalu cenderung mengutamakan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi ( kognitif dan psikomotorik ) dan melupakan aspek-aspek kepribadian anak didik yang lain ( afektif).
Demi terwujudnya obsesi itu, orde baru menerapkan sistem target yang tidak menekankan pada proses, melainkan, pada jumlah bahan dan hasil semata-mata. Sistem target semacam itu hanya mementingkan kuantitas. Padahal, yang seharusnya ditekankan adalah kualitas. Yang jelas, tujuan pendidikan tidak sesempit itu (mengenai filosofi pendidikan akan dijelaskan pada bab tiga). Sejak itulah, dunia pendidikan Indonesia mulai jatuh pada pragmatisme. Pendidikan Indonesia tidak lagi menekankan pendidikan untuk kehidupan, namun pendidikan hanya diarahkan pada sekolah yang telah dituntut memenuhi ambisi pihak-pihak tertentu. Kesimpulannya, pendidikan Indonesia bercorak non vitae sed scholae discimus. Dalam bahasa Indonesia, non vitae sed scholae discimus berarti kita belajar bukan untuk kehidupan, melainkan untuk sekolah. Jadi, sekolah menjadi tujuan utama sehingga hakekat pendidikan yang seharusnya menjadi tujuan utama diabaikan. Nilai-nilai kehidupan yang seharusnya ditanamkan tertutupi oleh ambisi ikut dalam industrialisasi.
Bab III. Non Scholae sed Vitae Discimus: Pendidikan Nilai
3.1. Kembali ke Filosofi Dasar Pendidikan
Setelah melihat keprihatinan mengenai pendidikan Indonesia serta penyebabnya, yang harus dilakukan adalah kembali ke filosofi dasar pendidikan. Pendidikan adalah sebuah tindakan fundamental, yaitu perbuatan yang menyentuh akar-akar hidup kita sehingga mengubah dan menentukan hidup manusia. Jadi, mendidik adalah suatu perbuatan yang fundamental karena mendidik itu mengubah dan menentukan hidup manusia. Kesejahteraan suatu bangsa amat bergantung pada tingkat pendidikannya, apalagi pada zaman sekarang. Kesimpulannya, pendidikan itu me-manusia-kan manusia muda Pendidikan adalah suatu bentuk hidup bersama yang membawa manusia muda ke tingkat manusia purnawan. (Driyarkara, 1991). Jadi, corak pendidikan Indonesia harus dibalik, dari non vitae sed scholae discimus menjadi non scholae sed vitae discimus yang artinya, kita belajar bukan untuk sekolah, melainkan untuk kehidupan. Jadi, pendidikan Indonesia harus dilaksanakan demi kehidupan. Hal ini menjadi solusi supaya pendidikan Indonesia tidak jatuh dalam pragmatisme.
3.2. Revitalisasi Pendidikan Nilai
Mewujudkan pendidikan bercorak non scholae sed vitae discimus berarti menumbuhkan pendidikan nilai. Pendidikan pada hakekatnya bersendikan nilai-nilai yang tinggi dan esensial kedudukannya dalam kebudayaan. Salah satu konsep filosofi dasar pendidikan menurut Theodore Bramelt adalah bahwa pendidikan harus mampu menjadi agen atau perantara yang menanamkan nilai-nilai yang ada dalam jiwa stake holder (Barnadib, 1990). Mendidik juga berarti memasukkan anak ke dalam alam nilai-nilai, atau, memasukkan dunia nilai-nilai ke dalam jiwa anak (Driyarkara, 1991). Pendidikan nilai bukan saja perlu karena dapat mengembalikan filosofi dasar pendidikan Indonesia yang seharusnya non scholae sed vitae discimus, namun juga perlu karena Indonesia, sebagai negara Pancasila, pada hakekatnya, menuntut pendidikan nilai karena ciri khasnya justru
terletak dalam komitmen terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila sebagai landasan negara. Dunia masa kini menghadapi suatu perubahan budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi yang juga membawa dampak negatif berupa lunturnya nilai-nilai yang vital, misalnya, nilai kegotong-royongan, nilai kesopanan, nilai kesusilaan. Maka, harus ada usaha reservasi nilai-nilai kehidupan supaya tidak punah. Dalam hal ini, pendidikan nilai berperan penting.
3.3. Konsep Pendidikan Nilai
Pertama, perlu diperjelas dahulu mengenai konsep nilai dan norma. Bertens mengungkapkan bahwa nilai adalah sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan, singkatnya, sesuatu yang baik (Adimassana; 2001). Pendapat ini sejalan dengan pemikiran Piet G.O. bahwa konsep nilai dalam arti sifat yang berharga menurutnya adalah sifat dari suatu hal, benda, atau pribadi yang memenuhi kebutuhan elementer manusia yang memang serba butuh atau menyempurnakan manusia yang memang tak kunjung selesai dalam pengembangan dirinya secara utuh, menyeluruh, dan tuntas (Piet GO, 1990). Menurut Sinurat, nilai dan perasaan tidak dapat dipisahkan, keduanya saling mengandaikan, perasaan adalah aktifitas psikis di mana manusia menghayati nilai (Adimassana; 2001). Yang bernilai menimbulkan perasaan positif dan yang tidak bernilai menimbulkan perasaan negatif.
Selaras dengan pemikiran-pemikiran diatas, Hans Jonas mengatakan bahwa nilai itu the addresse of a yes (Adimassana; 2001). Jadi, nilai adalah sesuatu yang selalu kita setujui. Sementara itu, norma adalah aturan atau patokan baik tertulis atau tidak tertulis yang berfungsi sebagai pedoman bertindak. Bila tiap manusia punya suatu sistem nilai dalam dirinya, dan sistem nilai itu dihidupi dan dijadikan pedoman hidup, berarti manusia itu sudah memenuhi kriteria manusia purnawan. Tujuan pendidikan nilai secara global adalah mencapai manusia yang seutuhnya; menjadi manusia purnawan, jika menggunakan bahasa Driyarkara.
Pendidikan nilai hendak mencapai manusia yang sehat; mencapai pribadi yang terintegrasi jika menggunakan bahasa Philomena Agudo. Integrasi pribadi memadukan semua bakat dan kemampuan daya manusia dalam kesatuan utuh menyeluruh. Pembawaan fisik, emosi, budi, dan rohani diselaraskan menjadi kesatuan harmonis. GBHN 1988 Bab II B mendukung pernyataan ini : Landasan Pembangunan Nasional: “Berdasarkan pola pikiran bahwa hakekat Pembangunan Nasional adalah Pembangunan Manusia Indonesia seutuhnya…..” Jadi, pendidikan nilai itu manifestasi non scholae sed vitae discimus.
3.4. Pendidikan Nilai vs Pendidikan Pragmatis
Pada awalnya, tujuan pendidikan Indonesia yang bercorak pragmatis (diistilahkan non vitae sed scholae discimus) baik. Dengan penekanan di sektor ekonomi, terutama lewat industrialisasi, negara hendak meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh bangsa Indonesia, dan dari situ, akan dicapai keadilan sosial. Namun, pendidikan menjadi
produsen tenaga-tenaga terampil semata, tidak menghasilkan manusia purnawan atau manusia utuh atau manusia terintegrasi. Pada masa-masa krisis multidimensional sekarang ini, pendidikan yang bercorak pragmatis itu malahan memperparah keadaan. Mengapa? Pendidikan pragmatis ini menghasilkan manusia-manusia yang mungkin cerdas dan terampil namun belum tentu berbudi baik. Ada segudang problem yang bisa dijadikan indikator, mulai dari masalah sosial, politik, rasial, lingkungan hidup, ketakwaan, susila, rasa kebangsaan, dan banyak lagi. Masing-masing mengacu pada kesimpulan bahwa sumber daya manusia (yang notabene dihasilkan oleh pendidikan pragmatis) itu kurang dalam segi humaniora.
Pendidikan nilai menghasilkan sumber daya manusia yang utuh, menyeluruh, sehat, purnawan, terintegrasi. Pribadi yang dibentuk oleh pendidikan nilai tetap mampu memenuhi tuntutan sektor ekonomi, tanpa harus kehilangan keutuhannya sebagai seorang manusia. Justru dalam masa-masa krisis multidimensional yang sedang dialami bangsa Indonesia inilah, pendidikan nilai amat berperan. Pendidikan nilai menghasilkan manusia yang mampu mengaktualisasikan dirinya. Menurut Maslow (Agudo, 1999), aktualisasi itu akan nampak pada:
1. Penerimaan diri, orang lain, dan kenyataan kodrat.
2. Spontan dan jujur dalam pemikiran, perasaan, dan perbuatan.
3. Membutuhkan dan menghargai keintiman diri (privasi).
4. Pandangan realitas mantap.
5. Kekuatan untuk menghadapi problem di luar dirinya sendiri.
6. Pribadi mandiri.
7. Menghargai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan sendiri.
8. Menjalin hubungan pribadi dengan yang Transenden.
9. Persahabatan dekat dengan beberapa sahabat atau orang-orang tercinta.
10. Ramah terbuka karena dapat menghargai dan menerima pribadi yang lain.
11. Perasaan tajam, peka akan nilai-nilai rasa moral susila teguh dan kuat.
12. Humor tanpa menyakitkan.
13. Kreativitas, bisa menemukan diri sendiri, tidak selalu ikut-ikutan.
14. Mampu menolak pengaruh yang mau menguasai atau memaksakan diri.
15. Dapat menemukan identitasnya
Kelima belas manifestasi aktualisasi diri hasil pendidikan nilai itu menjadi modal dasar untuk menyelesaikan krisis multidimensional yang menjangkiti bangsa Indonesia. Kesimpulannya, pendidikan nilai bukan hanya menyediakan sumber daya manusia bagi sektor ekonomi tanpa kehilangan keutuhannya tapi, pendidikan nilai juga membentukmanusia-manusia yang mampu mengatasi krisis yang rumit sekalipun.
Bab IV. Penutup
Praktik pendidikan zaman orde baru yang diabdikan pada kepentingan industrialisasi telah melepaskan pendidikan dari filosofi dasarnya. Ini berarti pendidikan Indonesia telah jatuh dalam pragmatisme. Pendidikan hanya mengutamakan kognitif dan psikomotorik dan melupakan aspek-aspek afektif sehingga bercorak non vitae sed scholae discimus. Solusi yang harus dilakukan adalah kembali kepada filosofi dasar pendidikan dengan mengubah non vitae sed scholae discimus menjadi nonscholae sed vitae discimus. Metode yang paling tepat untuk mewujudkannya adalah pendidikan nilai.
Akhirulkalam, penulis berharap karya tulis ini dapat merangsang perevitalisasian pendidikan nilai supaya pendidikan Indonesia tidak jatuh terus dalam pragmatisme.
Daftar Pustaka
http://tok0blog.blogspot.com
Atmadi, A. & Setiyaningsih (eds.), Transformasi Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Agudo, Philomena, Aku Memilih Engkau (Yogyakarta: Kanisius, 1999)
Barnadib, Imam, Filsafat Pendidikan (Yogyakarta: Andi Offset, 1990)
Driyarkara, Driyarkara: Tentang Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 1991)
Eyre, Richard & Linda, Mengajarkan Nilai-Nilai kepada Anak (Jakarta: Gramedia, 1997) Piet , Pendidikan Nilai di Sekolah Katolik (Malang: Dioma, 1991)
Sindhunata (ed.), Pendidikan: Kegelisahan Sepanjang Zaman (Yogyakarta: Kanisius, 2001)
Sindhunata (ed.), Menggagas Paradigma Baru Pendidikan (Yogyakarta: Kanisius, 2000)
Tilaar, H.A.R, Beberapa Agenda Reformasi Pendidikan Nasional (Magelang: Indonesia Tera, 1999)
Witherington, H.C, Psikologi Pendidikan (Jakarta: Aksara Baru, 1982)
BASIS edisi khusus Paulo Freire
BASIS edisi khusus Pendidikan
Itulah sekilas pembahasan tentang Pengertian Pendidikan Nilai yang sahabat Toko Blog ketahui. Silahkan untuk memberikan komentar anda.