Menurut sahabat apa itu sih pengertian spiritual Teaching dan manfaat bahkan jenis dari spiritual teaching itu.??? serta tujuan dari spiritual teaching bagi pendidikan di indonesia. Oke di dalam makalah/artikel pada tulisan spiritual teaching ini Toko Blog akan membahas bersama mengenai spiritual teaching. Sepengetahuan penulis spiritual teaching terdiri dari tiga unsur yaitu IQ (intelligence Quotient), EQ (Emotional Quotient) dan SQ (Spiritual Quotient).
Langsung ke topik Spiritual teaching (IQ, EQ dan SQ) dan makalah ini adalah tugas mata kuliah penulis. semoga berguna bagi sahabat semua.
Langsung ke topik Spiritual teaching (IQ, EQ dan SQ) dan makalah ini adalah tugas mata kuliah penulis. semoga berguna bagi sahabat semua.
I. PENDAHULUAN
Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Manusia memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki oleh makhluk Tuhan yang lain. Akal merupakan kelebihan yang telah diberikan Tuhan kepada manusia. Dengan akal manusia mampu belajar, berfikir, memahami serta melakukan mana yang baik dan mana yang buruk. Mana yang boleh dan mana yang tidak. Dengan akal yang dimiliki, seorang manusia mampu mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yaitu memaksimalkan proses berfikir sehingga dapat dikatakan manusia dibekali kecerdasan yang luar biasa dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain.
Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata – mata untuk mencari nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu harus didasari niat beribadah kepada Tuhan. Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak didiknya.
Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik, panutan bagi orang – orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.
Guru juga seorang manusia di mana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan teladan yang baik bagi murid-muridnya karena setiap sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik (guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.
II. PEMBAHASAN
A. Spiritual Teaching Sebagai Konsep Yang Melibatkan IQ,EQ,SQ
Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses belajar mengajar tertentunya mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan tugasnya. Strategi spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa semangat dan senang dalam belajar. Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa tolak ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar.
Seorang guru yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak bertindak tidak patut dan semestinya. Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk mulai menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan nilai – nilai kebaikan, nilai – nilai religius.
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar/ learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang menantang atau problematis (Problematical Learning/IQ), menyenangkan (Joyful Learning/ EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/ SQ).
Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Dalam dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) perlu mendapat perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan
Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, dijelaskan bahwa kunci sukses seseorang ternyata tidak hanya disebabkan tingginya IQ (Intelligence Quotient) saja, ada faktor lain yang dapat membawa seseorang menuju jalan kesuksesan, yaitu EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional. Tetapi IQ dan EQ yang tinggi ternyata belum cukup, dibutuhkan lagi apa yang dinamakan SQ (Spiritual Quotient). Penggabungan antara kerelegiusan dan psikologi yang sudah mendekati kesempurnaan,bahwa manusia tidak mungkin bisa terlepas dari yang namanya takdir dan ikhtiar untuk keberlangsungan hidupnya. Dan berikut akan disebutkan beberapa jenis manusia berdasarkan tingkat IQ, EQ dan SQ yang dimilikinya.
1. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang yang rasionalis, artinya mengedapankan akal dan pikiran dalam menentukan sesuatu (padahal akal manusia sangat terbatas jangkauannya).
2. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang materialis, artinya memandang sesuatu mengharapkan material.
3. Jenis manusia yang mempunyai IQ tidak bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang moralis, artinya terus sendiri dalam beribadah, tanpa memikirkan bagaimana orang lain di sekelilingnya.
4. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang egois, artinya orang yang mementingkan diri sendiri.
5. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ bagus, inilah manusia yang ulul albab dan seorang yang fitrah.
Maka Seorang pendidik harus mampu menjadi manusia yang kelima, yaitu memiliki IQ, EQ dan SQ yang bagus. Sebagai konsep siritual teaching.
B. Pengertian IQ, EQ dan SQ
1. Intelligence Quotient (IQ)
IQ (Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari hasil pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan dan selalu dikaitkan dengan hal akademik seseorang. Banyak orang berpandangan bahwa IQ merupakan pokok dari sebuah kecerdasan seseorang sehingga IQ dianggap menjadi tolak ukur keberhasilan dan prestasi hidup seseorang. Padahal IQ hanyalah satu “kemampuan dasar”. Kemampuan ini umumnya terbatas pada keterampilan standar dalam melakukan suatu kegiatan dan tingkatnya relatif tetap. IQ (Intellegence Quotient) / kecerdasan otak masih berorientasi pada kebendaan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
2. Emotional Quotient (EQ)
EQ (Emotional Quotient) / kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola emosi atau perasaan. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ masih berorientasi pada kebendaan. Tingkat EQ dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Kecerdasan Emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
3. Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab.
SQ (Spiritual Qoutient) / kecerdasan spiritual dapat dikatakan sebagai penggabungan antara IQ dan EQ. SQ merupakan kemampuan untuk mengenal siapa dirinya secara lahir dan bathin dan mengenal bahwa ada kekuasaan yang melebihi dari apa pun di dunia ini yaitu Sang Pencipta. Manusia secara fitrah memang memiliki potensi untuk menghambakan Dzat di mana dalam hubungan vertikal yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Manusia yang memiliki sifat yang lemah, terbatas dan tergantung memiliki kecenderungan untuk meminta perlindungan dan pertolongan kepada yang lebih darinya. Manusia yang mampu mengelola kecerdasan ini dengan baik, maka hidupnya akan merasakan ketenangan yang luar biasa nikmatnya. Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.
Denah Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).
Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
Dalam Islam, orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan pandangan hawa nafsunya. Hal ini merupakan Sabda Rasulullah saw, seorang pendidik yang luar biasa cerdasnya yang diriwayatkan oleh Tarmidzi.
III. PENUTUP
IQ, EQ dan SQ masing-masing memiliki peran yang penting dalam setiap kehidupan manusia. Ketiganya harus berjalan secara seimbang agar didapatkan keberhasilan yang sesungguhnya. Begitu pula bagi seorang pendidik (guru). Dia harus mampu menguasai ketiga kecerdasan ini.
Tugas dan peranan guru sebagai pengajar yang professional , berorientasi pada kegiatan layanan pengajaran kepada masyarakat dan upaya konsisten dalam sistem pendidikan nasional. Seorang pendidik (calon pendidik) diharapkan memiliki tiga kecerdasan ini (IQ, EQ dan SQ) yang baik sehingga mampu melahirkan generasi-generasi yang juga memiliki IQ,EQ serta SQ yang luar biasa. Tidak hanya memiliki kecerdasan otak yang tinggi tetapi juga memiliki sikap, moral dan tingkah laku yang luhur serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (menguasai iptek dan imtak).
DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
Ginanjar, Ary Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga.
Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Ginanjar, Ari, ESQ, Jakarta: Kaifa, 2000
Sering kita temui, para pendidik (guru) yang bekerja semata – mata untuk mencari nafkah, memperoleh penghasilan, hanya untuk mendapatkan materi bukan untuk mendapatkan sebuah kepuasan batin. Padahal dalam ajaran agama sendiri dijelaskan, ketika seseorang memilih untuk bekerja apa pun itu, maka semua itu harus didasari niat beribadah kepada Tuhan. Namun, banyak yang lupa akan hal itu sehingga menganggap ketika dia (guru) telah memberikan pengajaran tentang suatu pengetahuan, hanya sebatas itu saja, tanpa memikirkan bagaimana budi pekerti atau sikap perilaku anak didiknya.
Hanya sedikit guru yang mampu memberikan pelajaran, tidak hanya memberikan ilmu pengetahuan, tetapi juga mendidik para peserta didik agar menjadi manusia yang berbudi. Para pendidik yang seperti ini berarti mampu mengenali dan memahami apa hakikat dari apa yang dia lakukan tersebut yaitu menjadi seorang pendidik, panutan bagi orang – orang di sekitarnya terutama bagi peserta didiknya.
Guru juga seorang manusia di mana masih perlu banyak belajar. Guru merupakan salah satu profesi yang terhormat karena dari perantara seorang gurulah kita mendapatkan berbagai macam ilmu dan pengetahuan. Guru harus mampu memberikan teladan yang baik bagi murid-muridnya karena setiap sikap dan tingkah lakunya selalu menjadi sorotan lingkungan sekitarnya. Untuk itu, seorang pendidik (guru) harus mampu mengoptimalkan IQ, EQ dan SQ yang dimiliki agar nantinya mampu melahirkan para generasi yang juga memiliki IQ, EQ dan SQ yang baik.
II. PEMBAHASAN
A. Spiritual Teaching Sebagai Konsep Yang Melibatkan IQ,EQ,SQ
Guru merupakan orang yang sangat penting dalam proses belajar mengajar tertentunya mengetahui berbagai pengaruh yang mengitari dalam melaksanakan tugasnya. Strategi spiritual teaching adalah rencana cermat melalui sebuah proses penyampaian dan penanaman pengetahuan atau keterampilan yang berkaitan dengan suatu mata pelajaran tertentu kepada siswa yang dilakukan oleh guru dalam kerangka pengabdian kepada Allah sebagai sang Maha Pemilik Ilmu dalam praktek model pembelajaran dengan pendekatan spiritual, dengan cara mencintai profesi dan anak didiknya. Siswa akan mencintai guru dengan cara mengidolakannya serta menempatkan guru sebagai sosok yang berwibawa sehingga dapat mendorong siswa semangat dan senang dalam belajar. Dalam konsep mengajar seorang pendidik bahwa tolak ukur peranan guru bukan sebagai pengajar, melainkan sebagai pembimbing belajar atau pemimpin belajar atau fasilitator belajar.
Seorang guru yang dikatakan cerdas, profesional dan bermakna tidak hanya memberikan atau menyampaikan pengetahuan (transfer of knowledge) tapi juga mampu menyampaikan nilai-nilai moral sehingga mampu mendidik sikap dan perilaku peserta didik menjadi lebih baik (transfer of value). Terkadang seorang pendidik hanya mengandalkan kecerdasan intelektualnya saja dalam menyampaikan materi pelajaran, sehingga tak jarang kita temukan seorang pendidik yang tidak bertindak tidak patut dan semestinya. Maka dari itu sangat penting bagi para guru untuk mulai menyadari bahwa pendidikan bukan hanya transfer ilmu pengetahuan, tetapi lebih dari itu mendidik merupakan upaya untuk menanamkan nilai – nilai kebaikan, nilai – nilai religius.
Sebagai pribadi, salah satu tugas besar dalam hidup ini adalah berusaha mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang kita miliki, melalui upaya belajar/ learning to do, learning to know (IQ), learning to live together (EQ) dan learning to be (SQ) serta berusaha untuk memperbaiki kualitas diri pribadi secara terus-menerus, hingga pada akhirnya dapat diperoleh aktualisasi diri dan prestasi hidup yang sesungguhnya (real achievement).
Sebagai pendidik (calon pendidik) dalam mewujudkan diri sebagai pendidik yang profesional dan bermakna, tugas kemanusiaan kita adalah berusaha membelajarkan peserta didik untuk dapat mengembangkan segenap potensi (fitrah) kemanusiaan yang dimilikinya, melalui pendekatan dan proses pembelajaran yang menantang atau problematis (Problematical Learning/IQ), menyenangkan (Joyful Learning/ EQ) dan bermakna (Meaningful Learning/ SQ).
Seorang pendidik sejati akan menanamkan tauhid yang baik dan kokoh kepada anak didiknya. Apapun mata pelajaran yang mereka emban, sehingga tidak ada celah bagi si anak untuk membangkang terhadap perintah Tuhannya. Sikap dan perilaku peserta didik akan terkontrol degan sendirinya, tanpa perlu satpam, polisi dan hansip. Dengan pribadi yang matang dari segi keilmuan dan tauhid, maka akan secara otomatis memberi pengaruh yang positif bagi diri dan lingkungannya.
Dalam dunia pendidikan, keseluruhan aspek kecerdasan (IQ, EQ dan SQ) perlu mendapat perhatian yang seimbang. Kecerdasan intelektual yang tidak diiringi dengan kecerdasan emosional dan kecerdasan spiritual, hanya akan menghasilkan kerusakan dan kehancuran bagi kehidupan
Daniel Goleman dalam bukunya yang berjudul “Emotional Intelligence”, dijelaskan bahwa kunci sukses seseorang ternyata tidak hanya disebabkan tingginya IQ (Intelligence Quotient) saja, ada faktor lain yang dapat membawa seseorang menuju jalan kesuksesan, yaitu EQ (Emotional Quotient) atau kecerdasan emosional. Tetapi IQ dan EQ yang tinggi ternyata belum cukup, dibutuhkan lagi apa yang dinamakan SQ (Spiritual Quotient). Penggabungan antara kerelegiusan dan psikologi yang sudah mendekati kesempurnaan,bahwa manusia tidak mungkin bisa terlepas dari yang namanya takdir dan ikhtiar untuk keberlangsungan hidupnya. Dan berikut akan disebutkan beberapa jenis manusia berdasarkan tingkat IQ, EQ dan SQ yang dimilikinya.
1. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang yang rasionalis, artinya mengedapankan akal dan pikiran dalam menentukan sesuatu (padahal akal manusia sangat terbatas jangkauannya).
2. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ tidak bagus, maka dia seorang materialis, artinya memandang sesuatu mengharapkan material.
3. Jenis manusia yang mempunyai IQ tidak bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang moralis, artinya terus sendiri dalam beribadah, tanpa memikirkan bagaimana orang lain di sekelilingnya.
4. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ tidak bagus, dan SQ bagus, maka dia seorang yang egois, artinya orang yang mementingkan diri sendiri.
5. Jenis manusia yang mempunyai IQ bagus, EQ bagus, dan SQ bagus, inilah manusia yang ulul albab dan seorang yang fitrah.
Maka Seorang pendidik harus mampu menjadi manusia yang kelima, yaitu memiliki IQ, EQ dan SQ yang bagus. Sebagai konsep siritual teaching.
B. Pengertian IQ, EQ dan SQ
1. Intelligence Quotient (IQ)
IQ (Intelligence Quotient) adalah kemampuan atau kecerdasan yang didapat dari hasil pengerjaan soal-soal atau kemampuan untuk memecahkan sebuah pertanyaan dan selalu dikaitkan dengan hal akademik seseorang. Banyak orang berpandangan bahwa IQ merupakan pokok dari sebuah kecerdasan seseorang sehingga IQ dianggap menjadi tolak ukur keberhasilan dan prestasi hidup seseorang. Padahal IQ hanyalah satu “kemampuan dasar”. Kemampuan ini umumnya terbatas pada keterampilan standar dalam melakukan suatu kegiatan dan tingkatnya relatif tetap. IQ (Intellegence Quotient) / kecerdasan otak masih berorientasi pada kebendaan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
2. Emotional Quotient (EQ)
EQ (Emotional Quotient) / kecerdasan emosi merupakan kemampuan untuk mengelola emosi atau perasaan. Goleman mengemukakan bahwa kecerdasan emosi merujuk pada kemampuan mengenali perasaan kita sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. EQ masih berorientasi pada kebendaan. Tingkat EQ dapat meningkat sepanjang kita masih hidup. Kecerdasan Emosional (EQ) justru lebih mungkin untuk dipelajari dan dimodifikasi kapan saja dan oleh siapa saja yang berkeinginan untuk meraih sukses atau prestasi hidup.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
3. Spiritual Quotient (SQ)
Jauh sebelum istilah Kecerdasan Spiritual atau SQ dipopulerkan, pada tahun 1938 Frankl telah mengembangkan pemikiran tentang upaya pemaknaan hidup. Dikemukakannya, bahwa makna atau logo hidup harus dicari oleh manusia, yang di dalamnya terkandung nilai-nilai : (1) nilai kreatif; (2) nilai pengalaman dan (3) nilai sikap. Makna hidup yang diperoleh manusia akan menjadikan dirinya menjadi seorang yang memiliki kebebasan rohani yakni suatu kebebasan manusia dari godaan nafsu, keserakahan, dan lingkungan yang penuh persaingan dan konflik. Untuk menunjang kebebasan rohani itu dituntut tanggung jawab terhadap Tuhan, diri dan manusia lainnya. Menjadi manusia adalah kesadaran dan tanggung jawab.
SQ (Spiritual Qoutient) / kecerdasan spiritual dapat dikatakan sebagai penggabungan antara IQ dan EQ. SQ merupakan kemampuan untuk mengenal siapa dirinya secara lahir dan bathin dan mengenal bahwa ada kekuasaan yang melebihi dari apa pun di dunia ini yaitu Sang Pencipta. Manusia secara fitrah memang memiliki potensi untuk menghambakan Dzat di mana dalam hubungan vertikal yaitu hubungan manusia dengan Tuhannya. Manusia yang memiliki sifat yang lemah, terbatas dan tergantung memiliki kecenderungan untuk meminta perlindungan dan pertolongan kepada yang lebih darinya. Manusia yang mampu mengelola kecerdasan ini dengan baik, maka hidupnya akan merasakan ketenangan yang luar biasa nikmatnya. Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.
Denah Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).
Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan SQ Pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
Dalam Islam, orang yang cerdas adalah orang yang mampu menundukkan pandangan hawa nafsunya. Hal ini merupakan Sabda Rasulullah saw, seorang pendidik yang luar biasa cerdasnya yang diriwayatkan oleh Tarmidzi.
III. PENUTUP
IQ, EQ dan SQ masing-masing memiliki peran yang penting dalam setiap kehidupan manusia. Ketiganya harus berjalan secara seimbang agar didapatkan keberhasilan yang sesungguhnya. Begitu pula bagi seorang pendidik (guru). Dia harus mampu menguasai ketiga kecerdasan ini.
Tugas dan peranan guru sebagai pengajar yang professional , berorientasi pada kegiatan layanan pengajaran kepada masyarakat dan upaya konsisten dalam sistem pendidikan nasional. Seorang pendidik (calon pendidik) diharapkan memiliki tiga kecerdasan ini (IQ, EQ dan SQ) yang baik sehingga mampu melahirkan generasi-generasi yang juga memiliki IQ,EQ serta SQ yang luar biasa. Tidak hanya memiliki kecerdasan otak yang tinggi tetapi juga memiliki sikap, moral dan tingkah laku yang luhur serta beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa (menguasai iptek dan imtak).
DAFTAR PUSTAKA
Goleman, Daniel.1999. Working With Emotional Intelligence. (Terj. Alex Tri Kancono Widodo), Jakarta : PT Gramedia.
Ginanjar, Ary Agustian. 2001. ESQ Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Sipritual. Jakarta : Arga.
Makmun, Abin Syamsuddin. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung : PT Rosda Karya Remaja.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Ginanjar, Ari, ESQ, Jakarta: Kaifa, 2000